Senin, 25 Mei 2009

MENJADI RAJA WARALABA DI NEGERI SENDIRI


Pengusaha-pengusaha waralaba lokal mulai bermunculan. Membangun dan mewujudkan obsesi bersama.

Oleh Sulaiman Achmad

Hafiz Khairul Rizal selalu gelisah setiap kali pertanyaan ini muncul di kepalanya: mengapa Indonesia—negeri yang kaya akan citarasa makanan dan minuman tradisionalnya—justru dibanjiri waralaba asing? Ini pulalah yang membuat rasa patriotisnya muncul, dan segera mencari jawaban atas kegundahannya.

Hafiz memang tak segera mewujudkan jawaban itu. Ia perlu waktu panjang untuk menganalisa dan mencari formula yang mantap. Titik terang segera ditemukan tatkala ia bertemu dengan Dadang Hafiz, seorang yang ia kenal telah banyak makan asam garam dalam bisnis jual-beli hak dagang. Ya, waralaba. Itulah yang dimaksud Hafiz.

Pertemuannya dengan Dadang kini menghasilkan sebuah bisnis waralaba berprospek. Sejak tahun 2005, Hafiz menjalankan bisnis minuman tradisional: Es Dawet Ayu Cah Mbanjar.

Sebelum mengembangkan usaha menjadi waralaba, Hafiz yang sarjana teknik ini awalnya bekerja dengan temannya, Toni. Dari Toni-lah resep dan nama Dawet Ayu berasal. Bertahun-tahun menjalankan usaha tersebut, Hafiz kemudian berpikir untuk membuat usaha mereka menjadi lebih besar lagi. Belajar dari Dadang Hafiz yang juga konseptor RM. Wong Solo, ia memulai usaha dengan konsep barunya itu pada tahun 2005 dan langsung mendaftarkan produknya ke Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia (Depkum-HAM).

“Untuk hak paten atau merek dagang, itu saya peroleh setelah mendapat ijin dan membeli resep dari teman saya, Toni, pemilik awal Dawet Ayu,“ sebutnya.

Sejak itu Es Dawet Ayu Cah Mbanjar menjadi merek yang dimiliki oleh Hafiz. Selama 3 tahun berjalan, Es Dawet Ayu Cah Mbanjar dengan sangat cepat berkembangbiak. Kini sudah ada 4 franchise di Medan yang membeli hak dagang Es Dawet Ayu Cah Mbanjar—nama boleh ke-Jawa Timur-an, tapi tenarnya di Medan. Juga sudah mulai merambah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pekanbaru, Riau.

Seorang Edy Khairunnas, warga Pekanbaru, merupakan salahsatu investor yang jatuh hati kepada Es Dawet Ayu Cah Mbanjar. Dengan uang Rp60 juta, ia menjadi pemegang hak Master Franchisee Es Dawet Ayu Cah Mbanjar untuk wilayah Pekanbaru.
“Itu (Rp60 juta) sudah termasuk alat produksi, gerobak, resep dan tenaga kerja,” ungkap Edy buka-bukaan.

Edy yang merupakan seorang motivator di Thank’s and Giving Community ini optimis akan perkembangan Es Dawet Ayu Cah Mbanjar, dan dia juga memiliki ambisi untuk go international. “Walaupun sederhana, namun menjaga kualitas rasa Dawet Ayu ini menjadi faktor terpenting,” tandas pria yang juga bekerja sebagai analist investasi di sebuah lembaga independen.
Jika Es Dawet Ayu Cah Mbanjar baru mulai berkiprah sejak 2005, RM. Wong Solo bisa dibilang yang paling lama di Medan, bahkan di Indonesia—untuk waralaba lokal bidang makanan.

“Karena awal pendiriannya tahun 1991, kita sudah dikenal dan dekat dengan masyarakat. Dari 1991 ke 1996, perkembangannya cukup baik. Walaupun masih berada di Medan, tapi sudah cukup dikenal,” kata Dadang Hafiz, Direktur PT. Sarana Bakar Digdaya—badan hukum yang menaungi RM. Wong Solo.

Kemudian, dia menceritakan, ada gagasan untuk mewaralabakan usaha itu mempercepat perkembangan. Saat itu mereka pun berhasil membuat standarisasi pada tahun 1996-1997. “Dari situlah kita mencoba prototipe pertama itu di Krakatau, Medan. Nah itu waralaba kita yang pertama. Dari situ ternyata sambutan masyarakat sangat bagus,“ ungkapnya lagi.

Ekspansi RM. Wong Solo tidak berhenti sampai disitu. Saat membuka franchise di Padang, Sumatera Barat, sambutan cukup hangat. “Dari situlah kita langsung terpikir untuk langsung go nasional. Tentu saja pada awal-awalnya kita masih sulit, tapi dibantu dengan promosi dari kawan-kawan dan sebagainya. Kemudian banyak yang berminat,” ujarya.

Bidikan pasar selanjutnya adalah Bali. Nah, Bali merupakan tonggak untuk perkembangan waralaba RM. Wong Solo. “Saat kita rilis di Bali, sambutannya sangat luar biasa. Dari situ kemudian kami melihat potensinya. Banyak yang mau ikut. Saat ini ada 40-an outlet di Indonesia dan 2 di Malaysia,“ sebutnya.

Bagi Dadang, sesuatu yang dianggap mustahil untuk di-franchise-kan, ternyata bisa berkembang. Yang penting ada kemauan, keterbukaan, dan mau menyerap segala ilmu yang ada.

Kini, manajemen RM. Wong Solo tengah mengincar beberapa menu tradisional dan menasionalkannya. “Kita ada keyakinan, masyarakat Indonesia apapun itu pasti tetap akan kembali ke menu tradisionalnya. Karena itu sudah mengakar sejak kita masih kecil. Inilah konsep kami,“ sebutnya.

Menurut ekonom dari Universitas Negeri Medan (Unimed), M. Ishak, waralaba merupakan sebuah sistem bisnis yang memiliki keuntungan yang lebih besar daripada kerugiannya.

Dikatakannya, seseorang yang tertarik dengan peluang bisnis waralaba biasanya wajib membeli lisensi atau izin penggunaan nama yang disebut initial fee atau franchise fee. Selain berhak menggunakan nama dagang, sebagai imbalan, pembeli mendapat pengetahuan sistem bisnis serta pelatihan karyawan yang sama dengan pihak yang mengeluarkan lisensi. “Pembeli lisensi juga harus membayar royalti dari persentase penjualan,“ sebutnya.

Tapi, dia mengingatkan kepada penggiat waralaba lokal untuk tidak menganggap kehadiran waralaba asing sebagai ancaman. Dia memberi pilihan konsep yang ‘aman’, yakni kebersamaan. “Karena kalau persaingan, artinya perang, berarti akan ada yang menang dan mati,” katanya.

Dengan kebersamaan, akan muncul sikap bahwa pelaku usaha lain merupakan teman. “Kita dapat merangkul dia menjadi rekan bisnis yang bergerak di bidang yang sama. Tujuannya agar terbangun kerjasama yang baik dalam banyak hal antara lain, kerjasama dalam bidang pemasaran, penjualan, ide kreatif, manajemen, dan lainnya yang lebih menguntungkan,“ tandasnya.

http://www.pinbis.com/news_detail.php?id_berita=116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar